Akhirnya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama beserta rombongan mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, (9/11) sebagai bagian dari lawatan kenegaran selama sepuluh hari ke kawasan Asia Pasifik dan berada di tanah air cukup singkat 9-10 November 2010 ini. Kehadiran Obama kali ini harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia tengah dalam situasi berduka karena disana-sini bencana terus datang silih berganti. Belum pulih bencana banjir Wasior, datang gempa dan tsunami di Mentawai, menyusul letusan Merapi yang hingga kini masih terus dipantau perkembangannya.
Sebelum Obama menginjakkan kaki untuk kunjungan kenegaraan di Indonesia, ada beberapa sambutan dalam bentuk pendapat oleh para pakar di bidangnya yang terlontar di sejumlah media massa tanah air. Salah satu yang menarik perhatian penulis adalah tulisan Profesor William Liddle, dari Ohio State University (Kompas, 3/10), dalam opininya Liddle menyebutkan beberapa hal yang patut menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia tentang hubungan Indonesia dengan Obama yang merepresentasikan rakyat AS. Di satu sisi Liddle melihat bahwa sedikit sekali pengaruh Obama pernah tinggal dan mengenyam sekolah dasar di Indonesia terhadap kebijakan luar negerinya. Buktinya, Indonesia yang nota bene merupakan negara Muslim terbesar di dunia sekaligus menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India tidak lantas membuat Indonesia Istimewa di mata Presiden AS ke-44 itu karena pada saat yang sama Obama lebih memilih mendahului mengajak dialog kemitraan dunia Islam melalui mimbar Universitas Al-Alzhar, Kairo padahal rezim pemerintahan Mesir bukanlah sosok yang dipilih secara demokratis dan kurang disukai AS, tetapi tetap saja Jakarta dinomorduakan.
Jika Jakarta istimewa, seharusnya kunjungan pertama Obama setelah dilantik menjadi presiden AS ke kawasan Asia Pasifik, adalah mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, tetapi nyatanya Obama lebih memilih untuk mendarat pertama kali di China, sebab negeri yang kian mempesona lantaran ekonominya tumbuh pesat itu banyak menyimpan dollar AS yang dibutuhkan Obama untuk memulihkan situasi ekonomi negerinya yang remuk akibat pukulan krisis ekonomi global 2008. Sementara ekonomi Inonesia? Jelas kalah jauh dari China.
Pada hari yang sama, Kwik Kian Gie (Kompas, 3/10) dalam opininya, berimajinasi menjadi presiden dan berharap mengeluarkan sejumlah regulasi yang dikontrol oleh pemerintahan yang kuat. Bersikap layaknya presiden yang anti liberalisasi berlebihan dan menguatkan BUMN strategis untuk kepentingan publik, sekaligus meneguhkan posisi Kwik yang memang beraliran ekonomi Merkantilis. Asing boleh berinvestasi tetapi negara tetap berperan. Untungnya penulis tidak melewatkan tulisan lain dari Sri Edi Swasono pada hari berikutnya (Kompas, 4/10) yang secara substansi memiliki kesamaan pandangan dengan Kwik. Yang menarik dari dua ekonom ini adalah adanya kritikan terhadap sikap pemerintah yang masih saja memunculkan watak ambivalensinya. Di satu sisi membela kepentingan rakyat: pro growth, pro poor, dan pro job, tetapi pada saat bersamaan privatisasi BUMN strategis terus digencarkan.
Boleh jadi kedatangan Obama ke Indonesia kali ini tidak dengan senyum sepenuhnya mengingat Obama kini tidak lagi seperti masa awal kepemimpinannya. Obama di masa bulan madu sebagai pejabat dielu-elukan oleh publik AS akan mampu menyulap ekonomi AS dalam sekejap. Menyelesaikan ekses negatif krisis ekonomi global yang episentrumnya berawal di AS sendiri berupa gelombang PHK yang tidak terbendung, perusahaan besar kolaps, pemerintah AS terpaksa mensubsidi perusahaan strategis dengan mekanisme dana talangan (bail out), psimisme yang muncul ketika itu adalah pemerintah AS yang menjadi kampiun kapitalisme menelan ludah sendiri karena mengintervensi pasar.
Obama tidak bisa menghindari warisan kebijakan partai Republik yang hingga kini menciderai jalan kebijakan Obama. Terlalu sulit bagi Obama untuk memulangkan prajuritnya di Timur Tengah sementara proyek demokrasi belum usai. Obama belum terbiasa menghadapi kenyataan sulit krisis ekonomi seperti sekarang. Sementara publik AS tidak sabar menanti perubahan yang dijanjikan Obama saat kampanye. Ekses dari ketidaksabaran publik AS itu berdampak signifikan terhadap partai yang mengantarkan Obama ke puncak, Partai Demokrat beberapa kali mengalami kekalahan pada pemilu sela legislatif, menurut sejumlah analis ini membuktikan bahwa Obama dan partainya tengah divonis oleh publik AS, selain itu secara otomatis kemenangan partai Republik akan menguatkan posisi mereka di Parlemen dan Senat sehingga kebijakan Obama nantinya akan terganjal politisasi di tingkat elit (NYT, 4/10).
Beda Mimpi
Antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Obama memiliki banyak kesamaan–keduanya berasal dari partai demokrat di Indonesia dan partai demokrat di AS anggap saja sebagai sebuah kebetulan semata. SBY memiliki mimpi untuk terus mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga dan meraih reputasi sebagai negara berpengaruh di bidang ekonomi baik di tingkat Asia maupun dunia dengan target 2015 sebisa mungkin terpenuhi, sementara Obama hendak menjaga tradisi sebagai pemeran utama geo-ekonomi yang kini mulai diganggu oleh kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India dan China). Sby dan Obama memiliki mimpi untuk menjadi jembatan yang menghubungkan Timur dan Barat melalui forum-forum dialog.
Selain pada bidang ekonomi, tradisi kunjungan negara-negara besar ke negara kepulauan seperti Indonesia tidak serta merta melewatkan pembicaraan isu-isu strategis di bidang keamanan. AS misalnya berkali-kali menempatkan Indonesia sebagai salah satu mitra penting di kawasan Asia Pasifik untuk meredam laju terorisme internasional. Sehingga, pertemuan SBY-Obama kali ini tidak jauh-jauh dari pembicaraan itu dan tentu pembicaraan lainnya. Muaranya selalu pada mimpi (kepentingan) nasional masing-masing.
Arti kunjungan Obama yang memang terlambat ini adalah, penting bagi Indonesia untuk berkaca diri seperti disarankan profesor Liddle, yang menyebut Indonesia memiliki potensi untuk menarik perhatian negara manapun-termasuk negara kelahiran Liddle–tetapi perlu kesabaran bagi Indonesia untuk mengelola potensi yang dimiliki, baik potensi yang berbentuk materi maupun non materi. Materi yang dimaksudkan tentu saja kekayaan alam yang melimpah ruah itu. Sementara potensi non-materi itu adalah SDM yang tiap tahun lahir dari rahim universitas-universitas terkemuka di tanah air, yang sayangnya tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah, alih-alih memberikan mereka pekerjaan untuk mengelola BUMN, tenaga berkualitas itu justru dimanfaankan korporasi asing dengan bayaran melimpah, dan pada saat bersamaan pemerintah gemar melakukan privatisasi dan asingisasi BUMN strategis yang sebetulnya menjadi kunci keberhasilan kampiun baru bidang ekonomi, kelompok BRIC.
Jhon Naisbit dalam Megatrends terbarunya memprediksikan mimpi-mimpi China secara bertahap, menurutnya setelah China berhasil menggelar Olimpiade, target negeri tirai bambu itu berikutnya adalah membawa pulang penghargaan Nobel ekonomi sebagai apresiasi kesuksesan dalam membangun. Bagaimana dengan mimpi Kita diwakili Presiden SBY?
http://politik.kompasiana.com/2010/11/10/mimpi-obama-bukan-mimpi-kita/
Wednesday, 10 November 2010
Mimpi Obama Bukan Mimpi Kita
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment