Selamat Datang di Blogku..jangan lupa tinggalkan jejak..^^, Semangat !! untuk jadi ahli ekonomi islam!! Selamat datang dalam kehidupanku, sebuah cerita dari perjalananku mencari sebuah arti hidup.

Thursday, 31 March 2011

Kondisi Perekonomian Turki Pasca Meninggalkan Sistem Islam



oleh:
Harir

Sebagai Prolog dari tulisan ini apa yang diturunkan oleh Allah dan apa yang disampaikan oleh rasulNya adalah benar dan sesuai dengan fitrah manusia. Lantas apa yang terjadi jika smua ini ditinggalkan? Ini adalah salah satu contoh ketika sistem islam ditinggalkan bahkan dihancurkan. Berikut ini sejarah yang jarang dibahas beserta analisisnya. Tentang kondisi perekonomian bangsa turki pasca lepas dari daulah ustamniyah.

Sejak tuntuhnya daulah ustmaniyah, rezim republican Kemal pasha yang dengan sebutan Ataturk, telah meninggalkan semua warisan dari system pemerintahan islam dan lebih memilih membangun bangsa turki dengan caranya sendiri dengan versi pemerintahan ala bangsa barat. Elit penguasa melestarikan kekuasaan melalui system satu partai yang otoriter. Eksperimen mengizinkan pendirian suatu partai oposisi pada 1930 cepat ditinggalkan oleh rezim Mustafa Kemal Ataturk, karena partai oposisi itu mendapat dukungan yang sangat banyak. Penguasa (Mustafa Kemal) tidak ditentang oleh masyarakatnya yang pada saat itu hamper tidak mengerti ide ide elit politiknya. Pada saat inilah kemerdekaan bangsa turki era Mustafa Kemal sangat dibatasi oleh kreditor asingnya.


1929

Pada era ini turki berada dalam bayang bayang para kreditor asingnya. Para pengawal asing kreditur juga bertindak sebagai otoritas moneter bangsa turki yang sebelumnya tidak bias dilakukan pada masa sebelum 1929 (masa daulah ustmaniyah masih ada pihak pihak asing masih agak sulit mengintervensi kepentingan ekonomi bangsa turki). Saat itu mata uang turki terikat dengan pound inggris. Mulai 1923 hingga 1929 nilai tukar berjumlah 8,15-9,7 per pound. Pada era ini nilai ekspor berkurang dan mereka harus membatasi impor secara drastis. Fenomena di era ini membuat rakyat miskin pedalaman semakin menjerit karena kemiskinan.

Lira

Lira turki mempunyai nilai yang berubah ubah, sejak akhir 1920an. Lira adalah mata uang kertas yang terkait dengan mata uang inggris, tetapi tanpa dukungan emas (kondisi ini system standar emas telah berangsur angsur ditinggalkan oleh kaum muslimin). Di daerah pusat pemerintahan Bank yang dikendalikan oleh kreditur asing mencetak uang kertas tanpa memperdulikan standar emas, berbeda dengan pedalaman turki yang masih menggunakan uang emas dan perak. Dari 1926 hingga 1929 nilai lira mundur drastis hal ini menyebabkan defisit pada neraca perdagangan bangsa turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal.

Kejatuhan Lira dipercepat pada era 1929, meski sudah bisa berangsur lepas dari para kreditur asing, namun pada saat itu cicilan utang luar negeri jatuh tempo dan diperparah dengan jatuhnya harga saham di wall street yang membuat kondisi perekonomian semakin parah. Hutang luar negeri bangsa turki semakin membengkak hingga membuat penanggung jawab perekonomian saat itu mundur yang akhirnya digantikan oleh Celal bayar pada 1932.

Kesalahan dalam meninggalkan sistem emas

Syaikh Abdul Qadim Zallum menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak sebagai berikut (h. 224-227) :

Pertama, emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga. Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi. Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang. Jadi, emas dan perak termasuk uang komoditi/uang barang (commodity money). (Nasution, 2008:241). Artinya, emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qimah dzatiyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri. (Thabib, 2003:326).

Maka dengan menggunakan mata uang emas dan perak, suatu negara tidak akan dapat mencetak mata uang sesukanya lalu mengedarkannya ke pasar. Ini berbeda dengan uang kertas, suatu negara dapat saja mencetak uang kertas berapa pun ia mau, karena uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri. (Zallum, 2004:224). Ilustrasinya, untuk mencetak lembaran uang satu dolar AS, biayanya 4 sen dolar. Dengan anggapan 1 dolar senilai Rp 10.000, maka nilai 4 sen dolar hanya Rp 400 (1 dolar = 100 sen dolar). Kalau mau mencetak lembaran 100 dolar, biayanya juga masih sekitar 4 sen dolar itu. Inilah yang mengakibatkan The Fed (Bank Sentral AS) sangat leluasa mencetak dolar hampir unlimited sehingga menimbulkan inflasi permanen. (Hamidi, 2007:37). Namun untuk mencetak 1 lembaran uang senilai 1 dinar emas, diperlukan emas seberat 4,25 gram. Maka negara yang menggunakan standar dinar tidak bisa mencetak uang semaunya, kecuali dalam batas kuantitas emas yang dimilikinya. Uang yang beredar hanya bisa ditambah ketika negara menerima sejumlah emas baru dari pihak luar. Sebaliknya uang yang beredar bisa berkurang kalau ada orang yang menukarkan sebagian uangnya dengan emas. (El-Diwany, 2003:92).

Kedua, sistem emas dan perak akan menimbulkan kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia dikarenakan penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba. (h. 226). Emas biasanya tidak mudah ditemukan dalam jumlah berlimpah. Dalam perkiraan terbaik, persediaan emas global dalam 300 tahun terakhir hanya bertambah rata-rata 2 % per tahun. Tingkat pertumbuhan ini jauh di bawah pertumbuhan uang beredar berdasarkan perbankan modern yang menggunakan uang kertas. (El-Diwany, 2003:93). Dalam setahun, seluruh industri tambang emas dunia hanya menghasilkan kira-kira 2000 ton emas, sangat jauh di bawah produksi baja di AS saja yang menghasilkan 10.500 ton per jamnya pada tahun 1995. (Hamidi, 2007:109)

Ketiga, sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara secara otomatis, untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. (Zallum, 2004:226). Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance) antar negara. (Hamidi, 2007:137; Nurul Huda dkk, 2008:103).

Mekanismenya : jika suatu negara (misal negara A) impornya dari negara B lebih besar daripada ekspornya, maka akan makin banyak emas dan perak yang mengalir dari negara A itu ke negara B. Ini karena emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran. Kondisi ini akan mengakibatkan harga-harga di dalam negara A turun, lalu menyebabkan harga-harga komoditi dalam negara A lebih murah daripada komoditi impor dari negara B, dan pada gilirannya akan mengurangi impor dari negara B. Sementara dalam sistem uang kertas, jika terjadi ketekoran semacam ini, negara A akan mencetak lebih banyak uang, sebab tak ada batasan untuk mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli pada uang di negara A.

Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi, selama uang yang beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Karena negara khawatir tidak akan mampu melayani penukaran tersebut. (Zallum, 2004:226).

Keempat, sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang. (Zallum, 2004:227). Jika jumlah uang tetap, sementara barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara maksimal. Jika jumlah uang tetap, sedang barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001:144).

Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Jelaslah, sistem emas dan perak akan menghapuskan inflasi. Sedang sistem uang kertas sebaliknya akan menyuburkan inflasi. (Zallum, 2004:227).

Kelima, sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antar negara. Ini karena mata uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang, yaitu emas atau perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara (Zallum, 2004:227).

Benar hanya ada satu mata uang, karena satu ounce koin emas (31 gram) di AS, tidak akan berbeda dengan satu ounce koin emas di Jepang, Jerman, atau Perancis. Mungkin satu ounce emas itu akan diberi nama yang berbeda-beda di masing-masing negara ini, apakah diberi nama 20.000 Yen (Jepang), 200 Deutschemark (Jerman), 10.000.000 Rupiah (Indonesia), atau 1000 Franc (Perancis). Tetapi tidak akan ada biaya transaksi signifikan yang menggambarkan perbedaan kurs. Konsekuensinya, spekulasi mata uang asing (valas) tidak akan dapat lagi dilakukan dan perdagangan internasional pun akan makin bergairah, karena emas dan perak telah menghindarkan para eksportir/importir dari sumber ketidakpastian yang terbesar, yaitu kurs yang tidak tetap (fluktuatif). (El-Diwany, 2003:97).

Keenam, sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh setiap negara. Jadi emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain. Negara manapun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Mengapa? Sebab emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal. Emas dan perak tidak akan berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syara'. (Zallum, 2004:227; An-Nabhani, 2004:277). Contohnya : untuk mengimpor bahan pangan, alat-alat berat, persenjataan, atau untuk membayar tenaga ahli dari berbagai bidang dari luar negeri yang diperlukan untuk membangun negara Khilafah. Dengan kata lain, tidak akan ada keuntungan investasi asing yang dapat diterjemahkan sebagai kerugian mata uang dalam negeri. (El-Diwany, 2003:98).

Sumber:

Dietmar Rothermund, Great Depression : Depresi besar ekonomi amerika 1929-1939 dan dampaknya terhadap kehancuran ekonomi dunia, Imperium, Bab: Turki dan Mesir, 2008

Abu Ar-Rasytah, Atha, Al-Azmat Al-Iqtishadiyah : Waaqi'uhaa wa Mu'aalajuthaa min Wijhah Nazhar Al-Islam, www.hizb-ut-tahrir.info

Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (T.tp. : T.p), 1963

An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2004

El-Diwany, Tarek, The Problem with Interest : Sistem Bunga dan Permasalahannya, Penerjemah Amdiar Amir, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana), 2003

Hamidi, M. Luthfi, Gold Dinar Sistem Moneter Global Yang Stabil dan Berkeadilan, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing), 2007

Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami (Al-Awraq Al-Naqdiyyah fi Al-Iqtishad A-Islami), Penerjemah Saifurrahman Barito & Zulfikar Ali, (Jakarta : RajaGrafindo Persada), 2005
Lubis, Abdur-Razzaq dkk, Jerat Utang IMF? Sebuah Pelajaran Berharga Bagi Para Pemimpin Bangsa-Khususnya Indonesia (Discredit Interest-Debt!), Penerjemah Rofik Suhud, (Bandung : Mizan), 1998

Nasution, Mustafa Edwin dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta : Kencana), 2007

Nurul Huda dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis, (Jakarta : Kencana), 2008

Salim, Fathi Muhammad, An-Naqd Ad-Duali, (T.tp. : T.p), Tt
Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyyah Inhidam Ar-Ra`sumaliyyah Al-Gharbiyyah, (T.tp. : T.p), 2003

Yusanto, Ismail dkk (Editor), Dinar Islam : Solusi Krisis Moneter, (Jakarta : PIRAC, SEM-Institute, Infid), 2001
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan III, 2004

No comments:

Post a Comment