Zakat barang dagangan (zakah ‘urudh al-tijarah) adalah zakat yang wajib dikeluarkan untuk setiap barang yang dimaksudkan untuk perdagangan. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 179; Said Qahthani, Zakat ‘Urudh Al-Tijarah, hal. 5; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 3/223).
Hukumnya wajib berdasar As-Sunnah dan Ijma’ Shahabat. (Taqiyuddin Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/103). Dalil As-Sunnah, diriwayatkan dari Samurah bin Jundub RA, dia berkata,”Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kita mengeluarkan zakat dari barang yang kita siapkan untuk perdagangan.” (HR Abu Dawud).
Dalil Ijma’ Shahabat, diriwayatkan dari Abu ‘Amar bin Hamas dari ayahnya, dia berkata, “Umar bin Khathab memerintahkan aku dengan berkata, ‘Tunaikan zakat hartamu!’ Aku menjawab, ‘Aku tak punya harta selain tempat anak panah dan kulit.’ Umar berkata, ‘Nilailah harta itu dan keluarkan zakatnya!’ (HR Ahmad & Daruquthni). Ibnu Qudamah berkomentar kisah ini masyhur dan tak ada seorang shahabat pun yang mengingkarinya sehingga terwujud Ijma’ Shahabat dalam masalah ini. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 3/35; Yusuf Qaradhawi, Fiqh Az-Zakah, 1/302).
Zakat perdagangan wajib dikeluarkan jika memenuhi dua ketentuan; Pertama, nilai barang dagangan mencapai nishab emas (20 dinar = 85 gram emas) atau nishab perak (200 dirham = 595 gram perak). Kedua, telah berlalu haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Besarnya zakat 2,5 persen dari total harta (nilai barang dagangan plus laba). (Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 180).
Contoh, Ahmad mulai berdagang 1 Muharram 1432 H dengan harta yang nilainya kurang dari nishab (misal 10 dinar), lalu di akhir haul (1 Muharram 1433 H) hartanya baru mencapai nishab (20 dinar). Maka dia belum wajib berzakat pada 1 Muharram 1433 H itu, karena hartanya belum haul. Ahmad baru wajib berzakat setelah hartanya memenuhi haul, yaitu setahun berikutnya pada 1 Muharram 1434 H.
Contoh lain, Ahmad mulai berdagang 1 Muharram 1432 H dengan harta yang nilainya sudah melebihi nishab (misal 1.000 dinar). Pada akhir haul (1 Muharram 1433 H) nilai hartanya bertambah menjadi 3.000 dinar. Maka ia wajib berzakat dari harta yang 3.000 dinar ini, bukan dari yang 1.000 dinar.
Besarnya zakat perdagangan 2,5 persen dari total nilai barang dagangan termasuk labanya. Misal pada akhir haul nilai seluruh barang dagangan plus laba 4.000 dinar. Maka zakatnya 2,5 persen dari 4.000 dinar, yaitu 100 dinar. Zakat ini boleh dikeluarkan dalam bentuk mata uang yang beredar atau dalam bentuk barang yang diperdagangkan. (Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 180).
Jika pedagang punya utang, dihitung dulu sisa harta setelah utangnya dibayar. Jika hartanya telah memenuhi dua ketentuan (nishab dan haul), tapi sisa hartanya kurang dari nishab, dia tak wajib berzakat. Misal nilai hartanya 40 dinar, utang 30 dinar. Maka sisa hartanya (10 dinar) kurang dari nishab (20 dinar), sehingga tak wajib berzakat. Jika sisa harta lebih dari nishab, tetap wajib berzakat. Misal nilai hartanya 40 dinar, utang 10 dinar. Maka sisa hartanya (30 dinar) masih melebihi nishab (20 dinar), sehingga tetap wajib berzakat.
Jika ia punya piutang di tangan orang lain, harus dilihat dulu. Jika orang lain itu mampu dan tidak suka menunda pembayaran utang, piutang itu tetap wajib dizakati. Jika orang itu tak mampu atau suka menunda pembayaran utang, piutang itu tak wajib dizakati. (Abdul Qadim Zallum, ibid., hal. 182). Wallahu a’lam. (siddiq aljwaie)
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2011/03/23/menghitung-zakat-perdagangan/
Thursday, 31 March 2011
Menghitung Zakat Perdagangan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment