Menurut bahasa, Syuf’ah berarti “penggabungan”, yakni penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan . Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli.
Ilustrasi: A dan B meiliki sebuah rumah secara bersama. Tanpa sepengetahuan dan seizin A, B menjual haknya kepada C. Dalam keadaan demikian, A mempunyai hak syuf’ah dengan secara paksa mengambil rumah itu dari C melalui cara ganti rugi sebesar penjualan yang dilakukan B kepada C. Jadi pengambilan harta secara paksa atas harta perkongsian yang telah dijual kepada pihak luar tanpa kerelaan atau persetujuan pihak pihak yang berserikat dengan cara menebus harga jual, itulah yang dimaksud syuf’ah.
Dengan demikian syuf’ah tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan (syarikah), atau syuf’ah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi’ terhadap penjualan milik bersama oleh perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah memperoleh persetujuan atau kerelaan anggota perserikatan (syarikah) terlebih dahulu atau karena ketidak sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti hak milik anggota yang menjual miliknya itu.
Di sisi lain, anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota pemilikan bersama itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para pemegang hak perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang yang terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syuf’ah.
Untuk bisa terwujud suatu syuf’ah ada empat unsur yang mesti ada, yaitu adanya pihak yang mempunyai hak beli paksa (syaaf’i), ada obyek syuf’ah (al masyfuu’ ‘alaih), ada orang yang harus menjual (al masyfuu’ fiih), dan cara melakukan syuf’ah. Dengan demikian syuf’ah tidak akan ada bila salah satu dari keempat unsur di atas tidak ada.
Pada unsur yang pertama, yakni pihak yang berhak membeli secara paksa, disyaratkan mestilah dari anggota yang berserikat atas pemilikan barang yang sudah dijual tersebut. Orang orang yang tidak termasuk sebagai anggota persekutuan atas benda yang sudah dijual tidak berhak sama sekali melakukan syuf’ah. Kalau sekiranya benda yang dimiliki secara bersekutu itu sudah ditentukan bagian masing masing, syuf’ah juga tidak bisa dilakukan, sebab pemilikan bukan lagi sebagai milik bersama. Ketentuan ini didasarkan atas hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
Dengan redaksi yang agak berbeda, tapi maksudnya sama, ada riwayat lain yang menyebutkan:
Dua buah riwayat di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hak syuf’ah hanya ada bagi anggota anggota yang masuk dalam perserikatan (syarikah) kepemilikan itu. Orang yang tidak tergabung dalam perserikatan itu tidak berhak atas syuf’ah. Pendapat ini merupakan pendirian jumhur ulama. Akan tetapi, pengikut Imam Hanafi tidak dapat menerima pandangan tersebut. Menurut kelompok ini, hak syuf’ah itu juga dimiliki oleh tetangga atas barang tetangganya. Golongan Hanafiah ini berpendapat bahwa hak syuf’ah itu bertingkat tingkat. Tingkat pertama terdapat pada syafi’ yang merupakan anggota persekutuan pemilikan yang belum dibagi, kemudian anggota persekutuan yang bagian masing masing telah ditentukan, dan yang terakhir adalah para tetangga. Alasan yang dipakai oleh kelompok ini ialah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, yang berbunyi:
Terlepas dari perbedaan tersebut, yang perlu disadari ialah bahwa adanya hak syuf’ah itu bertujuan untuk menjaga dan memelihara ketentraman bersama. Para anggota perserikatan pemilikan hendaknya jangan terganggu ketentramannya dan tidak boleh dirugikan hak haknya. Bila sekiranya, dalam kondisi tertentu, penjualan sesuatu hak milik seseorang kepada orang lain alan dapat mengganggu ketentraman tetangganya sudah temtu adanya hak syuf’ah bagi tetangga itu dapat dipertimbangkan.
Unsur syuf’ah yang kedua ialah adanya obyek syuf’ah, yaitu barang yang berhak dibeli secara paksa (al masfuu’ ‘alaih). Para ulama sepakat akan adanya hak syuf’ah terhadap al masyfuu’ ‘alaih yang berbentuk benda yang tidak bergerak, seperti tanah, rumah, dan sejenisnya. Alasan yang mereka kemukakan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan:
Penyebutan rumah dan kebun dalam riwayat tersebut dijadikan alasan bahwa kepemilikan bersama itu berlaku atas benda benda sejenis yang tidak dapat dibagi.
Akan tetapi pandangan ini tidak bisa diterima oleh semua kalangan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa syuf’ah itu bukan hanya bisa terjadi atas barang yang tidak bergerak, tetapi juga berlaku terhadap barang barang bergerak. Penyebutan dua jenis benda di atas bukan merupakan bukti pembatasan atas benda tidak bergerak, tetapi dikaitkan dengan benda yang dimiliki secara bersama. Bila bahaya bisa terjadi pada benda tidak bergerak, hal ini juga bisa terjadi pada barang bergerak. Jika demikian, hak syuf’ah bisa berlaku terhadap benda tidak bergerak maka syuf’ah juga berlaku atas benda bergerak. Dengan alasan ini, maka jenis benda apa saja bisa berlaku hak syuf’ah sepanjang adanya pemindahan itu diizinkan atau mengganggu ketentraman anggota perserikatan.
Adapun argumen yang mereka pakai yang didasarkan atas riwayat adalah hadis Rasulullah saw yang berbunyi:
Rukun syuf’ah berikutnya adalah orang yang harus menjual kembali harta syuf’ah kepada anggota syarikah (al masfuu’ fih). Para ulama sepakat bahwa orang yang harus menjual kembali barang syuf’ah kepada anggota syarikah ialah orang yang menerima pemindahan milik anggota syarikah melalui jual beli atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syu’ah bagi tetangga. Adapun pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli, diperselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut Hanafiah, syuf’ah hanya terdapat pada pemindahan hak milik melalui jual beli, bukan melalui pemindahan di luar jual beli. Di samping itu ulama Malikiah berpendapat bahwa syuf’ah itu hanya bisa terjadi pada pemindahan hak milik melalui imbalan yang tidak mesti hanya jual beli saja. Hal seperti ini dapat terjadi melalui perdamaian, mahar, diyat, dan lain lain. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh imam Syafi’i. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa syuf’ah bisa pula terjadi atas sesuatu pemindahan hak milik, kecuali pewarisan.
Rukun syuf’ah yang terakhir ialah cara melakukan syuf’ah. Yang perlu ditekankan disini ialah bahwa syuf’ah haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artian bahwa syaafi’ hendak melakukan syuf’ah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya pemindahan hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syuf’ah akan menjadi gugur.
Adapun kadar ukuran syuf’ah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak boleh kurang. Bagi fuqaha yang membolehkan syuf’ah karena pemindahan hak milik bukan melalui jual beli, maka pelaksanaan syuf’ah dilakukan dengan cara memperkirakan nilai harga bagian yang dipindahmilikkan itu. Kalau sesuatu itu terbatas kadarnya karena syara’, seperti diyatpelukaan yang menghilangkan tulang, maka ganti rugi yang harus ditebus sebagai imbalan syuf’ah didasarkan atas imbalan pelukaan tersebut.
Persolan yang dikemukakan diatas pada dasarnya adalah pelaksanaan syuf’ah yang syaafi’nya hanya satu orang, sehingga syuf’ah tidak mesti dibagi, sebab setelah syuf’ah dilakukan maka pemilikan terhadap benda yang di syuf’ah itu akan menjadi milik utuh dari seorang syaafi’. Dengan keadaan yang demikian, benda itu akan menjadi milik pribadi secara keseluruhan oleh syaafi’ itu serta persekutuan pemilikan terhadap benda yang sebelumnya terjadi akan berakhir. Lalu bagaimana jika syaafi’ itu lebih dari satu orang? Lantas berapa hak mereka atas barang yang di syuf’ah itu? Persoalan ini tidak ada ketentuannya dari nash secara pasti.
Menurut pendapat Imam Malik, Syafi’I, serta jumhur fuqaha madinah, pembagian benda syuf’ah tersebut didasarkan pada besar kecilnya hak masing masing syaafi’ terhadap pemilikan bersama itu. Siapa yang memiliki hak terbesar ialah yang yang paling banyak menerima masyfu’, dan orang yang paling kecil haknya akan mendapatkan hak masyfu’ paling sedikit, serta jika hak mereka sama maka akan mendapatkan bagian yang sama banyaknya. Jadi, besarnya bagian para syafi’ dihitung atas persentase pemilikannya atas suatu perserikatan, bukan didasarkan atas pembagian rata rata para anggota.
Fuqaha koufah tidak setuju dengan cara pembagian yang demikian. Bagi kelompok yang disebut terakhir ini, persentase pemilikan tidak bisa menjadi ukuran, karena suatu benda itu dasar pemilikannya adalah bersama atau bersekutu. Syuf’ah hanya bisa terjadi karena hak milik itulah, dan makanya hanya hak miliklah yang harus dijadikan dasar pertimbangan. Dalam hal ini, kelompok ulama ini berpendapat bahwa syuf’ah itu adalah milik bersama diantara mereka yang berserikat dalam emilikan, dan oleh sebab itu pembagiannya haruslah sama rata antar syaafi’.
Suatu hal yang perlu disebutkan disini adalah bahwa adanya syuf’ah ini diatur oleh agama adalah untuk memelihara ketenangan dan keutuhan para pemilik harta bersama itu dari berbagai gangguan, baik gangguan terhadap hak milik atau ketenangan para anggota. Dalam hal ini unsur ketentraman dan kedamaian sebagai salah satu asas dalam lapangan muamalah, haruslah benar benar diperhatikan. Berangkat dari sasaran ingin menciptakan ketenangan dalam kelompok perkongsian itu, maka inti pokok dari bagaimana cara pembagian masyfu’ serta berapa kadar bagian masing masing haruslah dikembalikan kepada kesepakatan masing masing anggota perserikatan atau kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat.[]
Referensi:
1. Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al Fikr, 1983), hlm. 219.
2. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i dalam kitab hadis mereka.
3. Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 193.
4. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hanbal.
5. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik.
6. Drs. Helmi Karim, M.A., Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993, hlm. 6.
7. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
8. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i, dan Ahmad bin Hanbal.
9. Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi.
10. Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195
11. Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al Fikr, 1983), hlm. 223.
12. Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195
13. Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 194-195
No comments:
Post a Comment