Menurut Abu Hanifah, penentuan masa merupakan syarat sahnya salam (pesanan) tanpa diperselisihkan. Sedang Malik, yang jelas dan masyhur dari mazhabnya ialah bahwa penentuan masa merupakan syarat salam. Dan dari beberapa riwayat darinya dapat disimpulkan tentang kebolehan salam tunai (al hal).
Dalam hal ini, al Lakhami merinci persoalan. Ia mengatakan bahwa dalam mazhab Maliki, salam itu ada dua macam. Pertama, salam tunai yang kedudukannya sama dengan memperjual belikan barang. Kedua, salam dengan tenggang waktu yang kedudukannya tidak sama dengan memperjual belikan barang.
Fuqaha yang mensyaratkan penentuan masa berpegangan pada dua hal. Pertama, lahir dari hadis Ibnu Abbas r.a. Kedua, jika tidak disyaratkan penentuan masa ini, maka hal itu termasuk dalam penjualan yang tidak ada di tangan penjual yang dilarang itu.
Syafi’i beralasan, jika dengan penentuan waktu salam, itu dibolehkan, maka terlebih lagi salam tunai, tentu lebih dibolehkan. Karena lebih sedikit segi unsur penipuannya. Mungkin, fuqaha syafi’iyah beralasan dengan hadis berikut:
“ Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli seekor unta dari seseorang desa dengan satu wisiq kurma. Setelah masuk rumah, beliau tidak mendapatkan kurma. Maka beliau pun meminjam kurma dan memberikannya kepada orang desa tersebut.” (HR. Ahmad)
Mereka berpendapat bahwa pembelian seperti ini merupakan pembelian secara tunai dengan kurma tanggungan. Menurut ulama Malikiyah –dari segi pemikiran- salam itu dibolehkan karena adanya unsur pertolongan (kemanfaatan).
Demikian itu karena pemberian salam membayar harga dimuka dengan dimaksud mencari murahnya harga barang yang disalami (dipesan), sedang pihak penerima salam menyukai salam karena adanya tenggang waktu. Maka jika tidak disyaratkan penentuan waktu, dan hikmat baik itu, sudah barang tentu hilang.[]
No comments:
Post a Comment